Dewan Pertanyakan Skema Pengoperasian Blok Masela
Komisi VII DPR mempertanyakan pemilihan skema pada Blok Masela, apakah dilakukan dengan offshore dengan fasilitas pengolahan kilang terapung (FLNG) atau skema onshore dengan menggunakan pipa di darat.
“Isu yang paling hangat pada blok Mahakam sampai saat ini apakah ini akan di Offshore atau Onshore,” tanya anggota Komisi VII Kurtubi saat Rapat Kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM Sudirman Sid di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (26/1/2016).
Menurut Kurtubi, persoalan ini mestinya tidak terjadi jika tata kelola migas itu tidak seperti sekarang. “Jadi UU Migas itu merusak industri LNG nasional. Mestinya dengan UU Nomor 8 Tahun 1971 hak untuk membangun pabrik LNG itu Pertamina, meskipun pendanaan tidak dari APBN,” kata politisi dari Fraksi Nasdem ini.
Mestinya, lanjut Kurtubi, Pertaminan bisa menunjukkan otoriti kepada Bank bahwa ia memiliki cadangan agar Bank memberikan pinjaman dalam membangun pabrik LNG. “Pertamina yang bangun pabrik LNG di Arun dan Badak, demikian pula setelah pabrik LNG selesai dibangun Pertamina juga yang mengoperasikan proses LNG itu, maka terbentuklah PT LNG Arun dan PT LNG Badak, dibawah kekuasaan negara,” paparnya.
Ia menegaskan, industri LNG menjadi rusak dikarenakan UU Migas yang menghancurkan sistem itu. Sehingga yang membangun pabrik LNG adalah kontraktornya.
Sementara itu, Anggota Komisi VII dari daerah pemilihan Malku Mercy Chriesty Barends minta pemerintah bersifat terbuka terhadap masalah Blok Masela ini.
“Sebagaimana diketahui masalah Blok Masela sudah menjadi perdebatan yang cukup lama. Bagi Maluku sudah sejak tahun 2008, sampai hari ini ternyata masih berlarut-larut juga. Kita sangat butuh kejelasan tentang Blok Masela ini,” terang Mercy.
“Kami sebagai wakil rakyat yang mewakili Maluku butuh beberapa hal untuk menjadi jaminan bagi masyarakat Maluku, ketika produksi hendak dilakukan UU mensyaratkan bahwa pemegang hak produksi itu akan melepaskan fee 10% bagi wilayah yang dimandatkan negara,” tambahnya.
Berdasarkan surat Menteri ESDM yang sudah dikirim beberapa waktu lalu kepada Gubernur Maluku, menurutnya, itu menjadi obat penawar awal untuk kami.
“Tetapi isu ini masih kami tunggu sampai putusan final, yang menjadi catatan kami yang pertama studi kelayakan yang berkaitan dengan on shore maupun off shore mustinya dibuka secara transfaran. Dan hari ini mestinya, ketika kita memperbincangkan mengenai Blok Masela dokumen yang terkait studi kelayakan itu dibuka secara terbuka”, jelas anggota DPR dari F-PDIP ini.
Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa dari informasi yang didapat bahwa seluruh perencanaan telah dimasukkan kepada Presiden untuk diambil keputusan. Karena ini berkaitan dengan khalayak hidup orang banyak, kepentingan pembangunan bangsa dan negara terutama bagi masyarakat Maluku yang mengalami dampak langsung dari seluruh pengoperasian Blok Masela ini, ia minta Menteri ESDM memberikan dokumen terkait hal tersebut.
Kemudian, berkaitan dengan pemilihan on off nya itu sendiri apakah onshore ataukan offshore. Harapannya, setinggi-tingginya menguntungkan Indonesia dan mensejahterakan masyarakat Maluku secara khusus.
Menanggapi hal ini, Menteri ESDM Sudirman Said menyatakan Blok Masela diberikan sejak tahun 1968 dan kajian pertamanya telah muncul sejak tahun 2008. Secara waktu sudah cukup lama, dan wajar jika masyarakat Maluku sangat menunggu.
Berkaitan dengan pilihan offshore atau onshore, Said menyatakan, Kementeriannya berusaha membatasi discourse ini pada aspek otoritas dan professional approach.
“Kita tidak ingin melebarkan itu menjadi isu politik yang belum tentu para pihak yang membahasnya itu paham, dan sangat disesalkan karena akibat komentar dari sejumlah pihak kemudian memobilisasi opini yang belum tentu mereka pahami. Dan yang kasian adalah masyarakat setempat,” terang Said.
Jadi, sambung Said, pemerintah mengembalikan kepada track dimana yang bicara yang pertama adalah otoritas dan kedua adalah professional advice.
“Otoritasnya sudah jelas, bahwa POD diajukan oleh SKK Migas tentu dari investor, kemudian SKK MIgas menyampaikan kepada Kementerian ESDM, dan kemudian menteri akan menyetujui atau tidak,” jelasnya.
Mengenai advice professional, Said menginfokan, sejak 2008 dari mulai studinya internal BP Migas maupun Dirjen Migas, LAPI ITB, LPPM UI, konsisten mengatakan bahwa yang visible adalah melalui pendekatan di lepas laut atau offshore.
“Tentu saja kita menghargai pandangan-pandangan lain asal sumbernya itu kredible didasari pada kajian professional,” tukas Said.
Karena ini pilihan-pilihan yang sama-sama banyak asumsi, jelasnya, maka tidak ada kebenaran yang mutlak, sampai akhirnya terjadi realisasi di lapangan. Tentunya, Kementerian ESDM memiliki argument-argumen.
“Presiden dengan bijak menyatakan pada sidang kabinet terbatas terakhir itu, pada 29 Desember 2015, pada akhirnya pemilihan offshore atau onshore yang harus diperhatikan adalah seberapa jauh proyek ini memberi manfaat maksimal kepada penduduk wilayah setempat,” imbuhnya.
“Apalagi ini menyangkut wilayah timur yang memang secara relative dibanding wilayah barat masih tertinggal,” tambahnya. (sc), foto : rni/parle/hr.